Review dan Sinopsis Film Hope (Wish), Spoiler Alert
Film Hope atau dengan judul lain Wish ini adalah salah satu film Korea yang diilhami dari sebuah kisah nyata yang terjadi pada tahun 2008. Saat itu, Na-Young (yang saat itu berusia 8 tahun) sedang dalam perjalanan menuju sekolah. Di tengah jalan dia ketemu sama seorang bapak-bapak mabok yang tiba-tiba narik dia ke sebuah toilet gereja yang ngga terpakai, wajah dan perut Na-Young dipukuli karena menolak membuka baju saat diminta, lehernya dicekik dan wajahnya direndam ke dalam toilet sampe akhirnya pingsan dan diperkosa sama bapak-bapak tersebut.
Untuk menghilangkan bukti, laki-laki itu ngambil alat buat pompa wc terus ngebersihin alat kelamin korban yang berujung alat kelamin dan anus serta usus besar korban jadi rusak dan cacat permanen. Dia juga ngelakuin penganiayaan lain yang menyebabkan korban terluka parah, setelah itu dia langsung pergi begitu aja ninggalin korban sendirian meregang nyawa.
Beruntung, Na-Young ditemukan dan bisa selamat, tetapi pelaku hanya dikenakan hukuman 12 tahun karena dia mengaku dalam keadaan mabuk.
Film ini menceritakan tentang kehidupan sehari-hari So-Won, seorang gadis kecil cantik berusia 8 tahun yang tinggal bersama kedua orangtuanya. Ayahnya So-Won bernama Dong-Hoon bekerja di salah satu pabrik, sedangkan ibunya So-Won bernama Mi-Hee bekerja mengelola toko kelontong milik mereka di rumahnya setiap hari, Mi-Hee saat ini sedang hamil anak keduanya.
Keluarganya So-Won berteman baik sama keluarga manajer pabrik atasan bapaknya So-Won, segitu baiknya sampe ketika mereka butuh apapun pasti akan dibantu sama keluarga itu. Manajer tersebut juga punya 1 anak laki-laki yang jadi temannya So-Won di sekolah namanya Young-seek
Orangtua So-Won terlalu sibuk dengan pekerjaannya sampe si So-Won ini jadi kurang mendapat perhatian, tapi bukan kurang perhatian yang jadi broken home, cuma si So-Won ini jadi kaya lebih dewasa dan mandiri aja dari usia yang seharusnya.
Suatu pagi turun hujan yang cukup deras, So-Won sibuk mengikat rambutnya sambil bersiap-siap pergi ke sekolah sambil menonton serial tv anak-anak Kokomong. Hari itu ibunya menawarkan diri untuk mengantarkan So-Won ke sekolah, tetapi So-Won menolak dan memutuskan untuk berangkat sendiri. Ibunya ngasih tau untuk lewat jalan besar, jangan lewat gang kecil.
So-Won berjalan menuju sekolah sambil memakai payung yang berwarna kuning, sesuai dengan perintah ibunya dia jalan di jalan besar. Karena sudah agak kesiangan, So-Won ga menemukan 1 pun anak sekolah lain yang lagi jalan ke sekolah.
Di sebelah sekolah So-Won ada sebuah bangunan konstruksi yang terbengkalai, ketika sudah sampai di samping bangunan itu tiba-tiba ada bapak-bapak mabuk yang menghadang So-Won. Bapak itu meminta So-Won untuk berbagi payung, awalnya So-Won ga mau tapi dia ngerasa iba karena bapak-bapak itu badannya kebasahan jadi dia ok aja nganterin bapak itu jalan.
Tiba-tiba ada scene yang memperlihatkan kalau payung kuning dan barang-barang So-Won yang lainnya udah hancur di bangunan kontruksi terbengkalai itu, So-Won udah berdarah-darah dan berusaha buat ngambil ponselnya untuk menelepon 911.
Ibu dan ayah So-Won menerima telepon yang mengabari kalau anaknya ada di rumah sakit karena terluka parah. Singkat kata, orangtua So-Won datang ke rumah sakit tersebut dan langsung disambut oleh polisi, disana dijelasin kalau So-Won diperkosa dan menelepon 911 sendiri dalam keadaan sekarat.
Keadaan So-Won sangat mengenaskan, banyak luka sobek di wajahnya. Usus besar dan anusnya robek yang membuat tim dokter yang mengoperasi dia memutuskan untuk mengangkat usus besarnya dan ngebuat anus buatan di pinggangnya.
Operasi selesai, So-Won berhasil bertahan hidup. Bapaknya masuk ke ruangan untuk cek keadaan So-Won, saat itu ternyata So-Won sadar walaupun masih di dalam efek bius. Di tengah kesadaran yang lemah itu, dia menceritakan kalau dia merasa sangat takut dan sangat sakit makanya dia menelepon 911 agar orang jahat bisa ditangkap, dia juga menjelaskan warna dan jenis baju apa yang dipakai sama orang jahat itu karena dia takut keburu lupa kalau ngomong nanti.
Di TKP, ditemukan sidik jari seseorang yang diduga pelaku kejahatan atas So-Won. Sidik jari tersebut sama dengan sidik jari seorang tahanan yang baru saja bebas, dulunya dia ditahan di penjara karena kasus yang sama seperti sekarang. Polisi belum bisa menangkap pelaku tersebut karena butuh bukti yang lebih banyak agar surat penangkapan dapat dibuat. Satu-satunya cara agar pelaku dapat ditangkap saat itu juga, adalah dengan kesaksian korban sendiri, padahal saat itu So-Won masih trauma berat baik secara fisik maupun psikis.
Trauma psikis yang dialami So-Won sangat berat, dan membuat dia berubah 180 derajat dari kepribadian yang sebelumnya. Sekarang dia pemurung, pemalu, dan ga mau berbicara ke siapapun. Bahkan, So-Won ga mau berbicara apalagi bersentuhan dengan sang ayah, apabila ayahnya datang ke dalam ruangan maka dia akan menutupi dirinya sendiri dengan selimut karena malu.
Dong-Hoon sangat khawatir dengan keadaan So-Won, akhirnya dia menghubungi psikiater anak yang memang sudah banyak menangani kasus korban kekerasan seksual. Mi-Hee yang tadinya tidak setuju dan menentang habis-habisan akhirnya setuju untuk meminta bantuan psikiater ini agar So-Won bisa pulih.
Ternyata, psikiater tersebut mempunyai anak usia 16 tahun yang menjadi korban pelecehan seksual juga, tetapi anaknya tersebut tidak kuat menanggung malu akhirnya bunuh diri, maka dari itu dia sangat ingin membantu So-Won karena dia melihat sosok anaknya dalam diri So-Won.
Setelah beberapa kali sesi terapi, So-Won sedikit demi sedikit mau menanggapi pertanyaan psikiater tersebut walau hanya mengangguk dan menggeleng. Ayahnya So-Won mempunyai ide untuk selalu memakai kostum karakter Kokomong setiap kali dia mau bertemu dengan anaknya. Selama ayahnya So-Won memakai kostum tersebut, So-Won dapat tersenyum dan tidak merasa canggung seperti biasanya.
Pada salah satu terapi, So-Won menceritakan kepada psikiater kalau dia khawatir dengan kedua orangtuanya. Dia khawatir kedua orangtuanya tidak bisa bekerja dan mengeluarkan sangat banyak uang untuknya. Dia bercerita nanti kalau adik bayinya sudah lahir, dia ingin menggendong adik bayinya tetapi dia khawatir adiknya akan menjadi kotor jika terkena kantung kolostominya.
So-Won bercerita ketika neneknya masih hidup, neneknya selalu bilang "aku ingin mati" (karena sakit rematik yang dideritanya). Ketika ditanya apa arti "aku ingin mati" oleh psikiaternya, So-Won berkata artinya sama dengan "kenapa aku dilahirkan ke dunia ini" lalu raut wajahnya menjadi sendu. So-Won juga bercerita kalau dia sangat rindu sekolah dan teman-temannya, tetapi dia sangat malu karena kejadian itu, bahwa dia tidak ingin menceritakan tentang kejadian itu ke siapapun selamanya.
Tibalah saatnya So-Won dinyatakan pulih dan bisa pulang dari rumah sakit. So-Won sangat gugup dan minta ingin tinggal di rumah sakit saja karena dia takut dengan rumahnya. Saat di perjalanan pulang pun dia terkena serangan panik sampai muntah, tetapi rasa panik itu hilang ketika dia sampai di depan pintu rumahnya. Di pintu rumahnya ditempel banyak sekali memo-memo dan gambar-gambar dari teman-teman sekelasnya So-Won.
So-Won berangkat ke sekolah seperti biasa, ayahnya (masih dengan kostum Kokomongnya) mengikuti So-Won kemana-mana, dan selalu menyapa tiap ada kesempatan, hal ini membuat So-Won jadi tidak terlalu gugup dan ketakutan ketika dia sedang sendirian. Ayahnya So-Won juga memberitahu pada para guru agar maklum pada anaknya, dan sebisa mungkin menghindari kontak langsung guru laku-laki dengan anaknya.
Trauma So-Won perlahan-lahan sudah mulai membaik, dia sudah bisa berjalan bersama-sama dengan teman laki-lakinya (sebelumnya temannya hanya boleh berjalan di belakangnya). Suatu hari, So-Won bertanya pada boneka Kokomong yang mengikutinya, apakah itu ayahnya atau bukan. Hari itu, So-Won menuntun tangan ayahnya untuk pulang, dan menyeka wajah ayahnya yang penuh keringat karena kostumnya sangat panas. Dia sudah tidak takut lagi dengan ayahnya.
Hari demi hari berlalu, tiba-tiba ayah So-Won mendapat surat panggilan bahwa putrinya diharuskan bersaksi di persidangan. Hakim menyatakan bahwa rekaman So-Won mengidentifikasi pelaku tidak sah karena So-Won saat itu dalam keadaan luka berat sehingga kesaksian harus diulang. Di ruang pengadilan, So-Won bersaksi sekali lagi, dan menunjuk foto orang yang sama. Pengacara pembela bertanya pada So-Won apakah dia mencium bau alkohol ketika kejadian itu berlangsung, So-Won menjawab iya.
Hakim memutuskan kejadian tersebut terjadi saat pelaku tidak sadar/mabuk, sehingga pelaku hanya dikenakan hukuman selama 12 tahun, dan informasi terdakwa akan diumumkan selama 5 tahun. Permintaan korban mengenai kompensasi ditolak.
Semua orang berteriak riuh tanda tidak setuju, ayah dan ibu So-Won tertunduk lemas. So-Won merasa cemas dan menggambar sebuah lingkaran hitam di buku gambarnya. Ayah So-Won kemudian mengambil papan nama hakim dan berniat untuk memukul kepala pelaku dengan papan tersebut tapi kemudian So-Won memeluk kaki ayahnya dan memintanya untuk berhenti dan mengajak pulang.
Film diakhiri dengan scene dimana So-Won berkunjung ke rumah sakit bersama keluarga dan psikiaternya (termasuk keluarga manajer ayahnya) untuk melihat adik bayinya yang baru lahir. Trauma So-Won sudah semakin membaik, dan dia bahagia adik bayinya lahir dengan selamat. Setiap serangan paniknya muncul, dia masih suka pulang lebih dulu dari sekolah, tapi hidup sudah baik-baik saja sekarang, bahwa dilahirkan ke dunia adalah sebuah anugerah. -End
makasih infonya, kebetulan ane lagi cari film kisah nyata terbaik
ReplyDelete